Sabtu pagi yang cerah. Suasana kos
masih sunyi. Maklum saja, hari ini weekend, semua anak-anak kos pulang ke rumah
masing-masing. Hanya ada suara Conan Edogawa yang sedang memecahkan kasus
diiringi iklan komersial di pagi hari. Gue masih asik ngeliat si Conan memecahkan
kasusnya di balik layar kaca. “Weekend? Laporan belum ngerjain.”, Mau nulis
males.” Jalan ma cewek, ceweknya siapa.” Gue cuman bisa berguman dalam hati.
Gue pingin traveling…
Terdengar suara langkah kaki
sama-samar dari arah belakang. Enggak terlalu cepat dan tidak terlalu keras.
Tiba-tiba terlihat sesosok laki-laki muda cungkring duduk di samping gue. Usut
punya usut, dia senior gue di kos.
Wajahnya yang kusut menandakan kalau dia sama seperti gue, sama-sama
bingung di kos, butuh hiburan dan penyegaran pikiran.
“kang… Museum Radya Pustaka Yuh..”
Gue mulai membuka percakapan.
“Sekarang? Beneran?”
“Iya kang… nyari hiburan sekalian
jalan-jalan.”
“Oke.. aku juga butuh hiburan, aku
tak sarapan dulu.”
“…”
Gue sepakat hari ini mau tarveling
di sekitar kota. Udah hampir 3 tahun di sini, gue belum pernah mengunjungi
Museum yang katanya tertua di Indonesia.
Pernah terbesit tentang destinasi yang bakal gue tuju. Kalau enggak
salah pada waktu pelajaran Sejarah dan IPS. Menurut buku pelajaran dulu, di museum
yang akan dituju ini terdapat naskah-naskah kuno.
Semua persiapan udah selesai. Senior
juga udah selesai mandi. Sinar matahari semakin panas. Bayangan sudah hampir di
atas kepala. Pantas saja, jarum arloji sudah berada di angka 11.
Kamipun turun dari kos menuju garasi
sepeda motor. Tanpa menunggu perintah dan
aba-aba, gue dan senior kospun langsung tancap gas ke Lokasi. Lokasi
yang enggak terlalu jauh dari kos, terletak di Jalan utama Slamet Riyadi,
tepatnya di samping lapangan tempat diadakannya PON untuk pertama kali, Stadion
Sriwedari.
Enggak terasa 30 menit udah berlalu.
Akhirnya gue sampe juga di depan bangunan Tua peninggalan Belanda. Terlihat
Patung besar setengah badan dan Tulisan yang menandakan kalau gue udah sampe di
Museum. Patung setengah badan yang pernah di resmikan oleh Presiden pertama
Indonesia pasti si Pujangga yang terkenal dan masih misteri, Ranggawarsita.
Terlihat juga banyak anak-anak
memakai seragam pramuka berada di teras rumah belanda. Pasti mereka anak-anak
SD yang sedang diajak studi lapangan. Gue pun segera memarkirkan motor dekat
bapak-bapak setengah baya. Bapak-bapak berkacamata dengan headset tunggal di telinga kiri.
“Pak… berapa…”
“Parkirnya Berapa…”
Si Bapak hanya memberikan tanda
karcis parkir. Terlihat nominla 1500 rupiah dalam lembaran karcis motor ini.
Tanpa banyak tanya, gue mengambil selembar ribuan dan uang logam perak, gue
kasih ke Bapaknya.
“Silahkan ke loket mas…” kata bapak
tua ini sambil menunjuk arah pintu rumah belanda.
“Sebelah mana Pak?”
“…”
“Pak… dimana ya?”
“…”
Si bapak tua ini tetap diam seribu
bahasa. Dia meninggalkan kami dengan rasa penasaran. Pasti bapak ini memang mengalamai gangguan pendengaran.
Kamipun menuju teras rumah besar dan
kuno. Tapi… gue enggak melihat ada tulisan loket. Hanya terlihat beberapa
laki-laki berkumis duduk dan beberapa kertas karcis.
“Selamat siang mas… dari mana?” sapa
mas-mas berbaju batik Biru.
“Dari Solo Pak… tiketnya dimana ya?”
“Ini mas… bawa kamera tidak mas?”
“…” gue diem.
“Enggak pak…”
“lima ribu aja mas perorang.”
“…”
Gue pernah baca artikel, kalau di
sini dikenakan biaya tambahan bagi yang membawa kamera. Gue juga bawa kamera di
dalam tas kecil. Enggak masalah enggak
motret pakai kamera, toh kalau pake HP kan enggak dilarang.
Kamipun masuk melewati pintu yang
sangat besar dan tinggi. Arsitektur bangunan Belanda terasa sekali. Terlihat
pintu-pintu yang sangat besar, tinggi dan lebar. Ada juga tembok yang sangat
tebal dan kuat meski tidak ada kerangka dalam bangunan ini.
Gue pun disambut dengan koleksi
barang-barang yang antik dan langka. Terlihat di ruang tamu terdapat patung
setengah badan, beberapa keris dan senjata api masa itu. Tiba-tiba mata gue
tertuju pada beberapa foto yang menggantung di tembok. Beberapa foto museum ini
dan foto Proklamator Indonesia yang sedang meresmikan museum ini.
Setelah puas di ruang tamu yang
berukuran kurang 3 kali5 meter ini, kamipun melanjutkan ke kamar-kamar yang
lain. Pada kamar yang pertama terdapat koleksi keris. Terihat seni lekukan
keris yang seperti ular beserta hiasan-hiasan rajah di badan keris.
Setelah puas pada kamar pertama,
kamar demi kamar gue telusuri. Gue semakin takjub kalau Indonesia emang negara
yang kaya. Banak sekali hasil karya
nenek moyang masih terlihat sampai saat ini. Seperti patung-patung jaman
kerajaan Hindu Budha yang masih tersimpan
rapi dan indah di dalam lemari kaca.
Enggak cuman beda pusaka yang ada di
museum ini. Ada juga benda-benda pertanian, seperti parang, Trisula, tombak dan
peralatan yang terbuat dari logam.
Kamipun sampai di ruang yang lebih
besar dari ruang tamu di depan. Gue
berasumsi kalau ini dulunya ruang pertemuan. Hanya terlihat seperangkat gamelan
jawa dan koleksi wayang di depan mata.
Wayang yaang enggak cuman berasal dari jawa saja. Ada wayang Golek. Tapi
terlihat, eksistensi wayang kulit paling dominan diruang ini.
Gue pun melanjutkan ke ruang yang
terakhir. Terlihat beberapa anak-anak sedang menulis dan menerjemahkan huruf
jawa ke Huruf latin. Terlihat tulisan Naskah Kuno. “Don’t enter, Staff only”. Sayang sekali, ruang naskah kuno enggak
dibuka untuk umum. Hanya untuk orang yang berkepentingan aja.
Disini terdapat beberapa koleksi
mata uang dunia maupun mata uang yang pernah ada Di Indonesia. Dari Jaman
penjajahan Belanda sampai sekarang. Uang
dari negara-negara eropa, amerika, Asia
pun terlihat di kotak kaca bewarna merah ini. sayang seribu sayang, kondisi ruang ini sangat
gelap.
*BAru tau ada Mesin Ketik Hiruf Jawa
Sepertinya semua ruangan udah gue jelajahi. Suara azan juga terdengar dari mana-mana. Tapi… destinasi gue masih belum selesai. Si Senior ngajakin ke Kraton Solo. Akhirnya kamipun cepet-cepet meninggalkan tempat yang indah ini.