Waktu
serasa berjalan lambat. Detik berganti detik, dan menitpun silih berganti.
Hatiku semakin tidak karuan menahan kesedihan ini. Aku tidak tahu lagi apa yang
harus aku perbuat. Kepada siapa lagi aku harus menuangkan perasaan sedih ini.
Setiap aku sedih, pasti aku selalu menelpon Dodhy. Menangis ditelpon dan Dodhi
selalu menghiburku.
Aku terus
menunggu balasan SMS dari Dodhy. Sudah tigapuluh menit aku menunggu balasan
dari dia. Mungkinkah dia masih marah kepadaku? Akupun menghempaskan badanku di
atas tempat tidur. Aku sudah tidak sabar menunggu suara berat Dodhy. Rasa
sabarku mulai berkurang. Jantungku berdetak kencang menahan gejolak di dada.
Akupun mulai menekan tombol “call” di hape.
“Hallo… lagi apa A’?” kataku pelan sambil menahan
kesedihan.
“Hai.. ada apa? Aku lagi makan.
Entar aku telpon balik .“
[tut…tut..tut…]
Samar-samar
suara Dodhi menghilang ditelan malam. Entah kenapa perasaanku sedih ketika
ingat Ryan? Kerja keras dan perjuangan Ryan
semakin membuat dadaku sesak. Dada terasa tercabik-cabik. Ingin aku
luapkan kesedihanku ini kepada Dodhi. Meski hatiku mulai sayang dengan Ryan.
Aku tidak terbiasa berbagi kesedihan kepada Ryan. Aku tidak ingin Ryan semakin
terbebani. Semenjak kegagalannya beberapa minggu lalu, ingin hati menemani dia
selalu. Inginku bersanding dipundaknya sambil mengatakan, “Semangat ya… mungkin
ini salah satu jalan menuju bahagia.”
[drrrrr….drrrrr…drrrrr…]
Suara
getaran hapeku membuyarkan lamunanku lagi. Kuambil langkah kecilku.
Perlahan-lahan, kubergerak mendekati hape yang masih menari-nari di atas meja
belajarku. Berharap telpon dari Ryan. Sudah beberapa jam ini aku tidak
berkomunikasi dengan dia. Aku khawatir dengan Ryan. Ku anggat telpon yang masuk
tanpa melihat sipa nama yang tertulis di layar.
“Hallo…
lagi apa?”
Aku cuman
diam. Aneh, ini bukan suara Ryan. Aku hafal dengan kebiasaan telpon seperti
ini. Kebiasaan Dodhi, iya, kebiasaan Dodhi tiap telpon. Gaya yang santai, dan
ceria seperti biasa. Meski hatinya terluka karenaku tapi dia tetap mencoba
tersenyum dihadapan semua orang.
“Aku lagi
sedih. Kepikiran Ryan.” Tanpa basa-basi aku menumpahkan gejolak hati yang tidak
bisa aku ungkapkan pada Ryan.
“Besuk aku
mau ke Jakarta. Ada yang harus aku selesaikan sama kamu.”
“Hah…
ngapain!” kataku terkejut.
Tak
mungkin Dodhi ,pergi ke Jakarta untuk menemuiku. Dia aja tidak pernah ke
rumahku. Pasti hanya bercanda atau cuman menggertak. Seminggu lalu saja dia
juga bilang tidak akan pernah menghubungiku lagi. Tapi kenyataannya sampe
sekarang dia masih mengirim sms, meski tak pernah satupun yang ku balas. Aku
tak ingin menyakiti hati Ryan. Ryan pasti akan terluka kalau tahu aku masih
berhubungan dengan Dodhy.
“Beneran,
tunggu aku di Jakarta. Aku cuman ingin bertemu kamu untuk yang terakhir kali.”
“Enggak
usah!!! Ngapaen??? Aku udah terlanjur sayang sama Ryan!!!”
“Apa!!!”
“Iya… aku
udah sayang banget sama Ryan. Udah beberapa minggu ini aku selalu dengan dia.
Bahkan dia sudah tiga kali main ke rumahku. Akhir pekan lalu, dia juga main ke
kosku. Perasaanku kepadanya kini sudah berubah menjadi rasa sayang. Aku juga
bingung kenapa ini bisa terjadi.”
Hanya
sunyi yang terasa. Dodhy seperti lebih memilih menutup mulut rapat-rapat. Entah
dia shock atau apa. Akupun terus menceritakan Ryan… Ryan… dan Ryan. Semua
gejolak yang kupendam terlepas dengan indah mengalun layaknya syair-syair
jangkrik yang menghiasi malam. Kata-kata yang mengalun masuk ke telingan Dodhy.
Entah setan apa yang merasuki diriku sampai aku menceritakan laki-laki lain
dihadapan orang yang masih sayang denganku. Aku bahkan tidak memikirkan apa yang dirasakan Dodhy saat ini. Ah… masa
bodoh yang penting aku ingin menemani Ryan sampai dia tersenyum kembali.
“Udah puas
kamu sekarang?” suara Dodhy mulai muncul dibalik microfon.
“Emang
kamu udah enggak sayang lagi sama aku? Terus apa artinya empat tahun ini bareng
kamu? Hanya sebagai PELAMPIASAN CINTAMU?”
“Tapi…
sekarang aku udah sayang sama Ryan. Perasaanku ke kamu sekarang ini udah
berubah, enggak seperti dulu lagi. Aku enggak mau ninggalin Ryan. Aku enggak mau kehilangan dia lagi.”
“Okke..
jika itu mau kamu, sampe ketemu di Jakarta besuk!”
[Tut…tut…tut…]
Entah
hatiku semakin membara ketika bercerita tentang Ryan. Malam ini aku puas
sekali. Aku sudah tidak sabar bias menghabiskan malam dengan Ryan, meski hanya
sebatas lewat pesan singkat.
Akupun
memulai percakapan degan Ryan seperti malam yang sudah-sudah. Tidak biasanya
aku mau memulai SMS terlebih dahulu kecuali dengan Dodhy. Tapi sayang,
perasaanku kepadanya sudah berpindah ke hati Ryan.
Keesokan
harinya…
Matahari
telah menampakan senyumnya. Semilir angin sama-samar membelai wajahku.
Aktivitas di depan kospun telah ramai akan mahasiswa yang akan pergi ke kampus.
Ikan koi bercumbu mesra di kolam membuatku iri. Akupun menghempaskan tubuhku di
tas sofa yang tak jauh dengan kolam ikan. Teras yang lumayan besar untuk ukuran
ruang kunjungan tamu. Disinilah Ryan selalu menemuiku tiap akhir pekan. Yang
dia lakukan ketika pertama datang ke sini pasti selalu push up. Sungguh lucu,
tapi cukup membuatku tersenyum.
Hari ini
tidak ada kuliah pagi. Ya seperti inilah
nasib mahasiswa yang sudah hampir mendekati akhir. Hanya dapat jatah kuliah sore, jam 3 sore.
Akupun tidak lupa mengucapkan selamat pagi kepada Ryan. Hanya sekedar ingin
tahu apa yang sedang dilakukan dia sekarang.
[drrr…drrrrr…drrrr]
Hapeku
bergetar, tanda ada sebuah pesan masuk. Pasti dari Dodhy. Seperti biasanya dia
hanya mengirimkan SMS TAK PENTINGnya. Pasti kalau tidak, MET PAGI, KULIAH yg
BENER, JANGAN LUPA MAEM, MET ISTIRAHAT. Akupun sampai hafal dengan smsnya.
Biarpun dia mengirimkan sms sampe operatot bangkrut, tidak akan merubah
perasaanku kepadanya. Aku sudah tergila-gila dengan Ryan.
From : AA’ Dodhy
Aku lagi OTW ke
tempatmu. 2-3 jam sampe Jakarta. Wait for me: )
Aku hanya
terdiam melihat layar hapeku. SMS dari Dodhy?
Apa dia benar-benar serius. Kalu Ryan sampai tahu pasti bakal sakit
hati. Akupun langsung menelpon Dodhy. Tidak seperti biasanya. Kenapa dia nekad
mau menemuiku jauh-jauh?
[Tut….]
“Hallo…
ada apa?” suara Dodhy terdengar.
“Ngapaen
kamu? Pulang aja! Aku ada kuliah dari pagi sampai sore.” Kataku berbohong kepada Dodhy.
“Aku udah di Jalan ini, sejam lagi
nyampe Jakarta. Aku baru pertama kalinya pergi ke Jakarta. Aku enggak tahu
turun dimana dan naik apa biar sampe di tempatmu.”
“Kamu turun di Jatinegara saja, nama
kosku NTR.” Kataku tidak tega.
“Oke… tunggu aku ya…”
“…”
Akupun
semakin bingung. Tiba-tiba perasaanku menjadi gelisah. Aku tidak tega kepada
Dodhy.
Dua jam
kemudian…
Jam
dinding kamarku berdetak seperti menertawakanku. Matahari serasa sudah berada
di atas atap kos. Udara panas seperti biasanya menghiasi hari Rabuku ini. Tidak
ada kegiatan, hanya tiduran, memandangi langit-langit dan melukis wajah Ryan
dilangit-langit kamarku. Jam segini
pasti Ryan masih bekerja. Aku tidak mau mengganggunya. Sampe sekarang Dodhy
juga belum menampakan wajahnya. Apakah dia tersesat? Ataukah tiba-tiba ditengah
jalan dia dihadang oleh perampok? Hanya imajinasiku saja.
[Tit..tit…tit..]
Suara hpku
mengisyaratkan ada pesan masuk.
From: Aa’ Dodhy
Aku udah di depan
kosmu..
Hah…
kenapa dia sudah sampe disini? Bagaimanakah dia sampe di sini? Ah… tidak
penting, akupun cepat-cepat mengambil langkah kecilku keluar dari kamar. Kakiku bergerak dengan sendirinya menuju pintu
gerbang. Perlahan-lahan aku geser pintu pagar bewarna hitam didepanku.
Tiba-tiba
terlihat sesosok pemuda dengan pakaian serba hitam, topi hitam dan masker. Dia
memang benar-benar Dodhy. Dia benar-benar dateng ke kosku. Dodhy yang udah
nemenin aku 4 tahun ini. Dodhy yang aku lukai hatinya. Entah mimpi apa
aku tadi malam. Akupun segera menyuruh Dodhy masuk dan duduk di teras.
Akupun
duduk duduk di sofa pojok, dan Dodhy memilih duduk di sofa yang jauh dariku.
Dia memilih duduk di dekat kolam ikan dihiasi teriknya matahari. Entah kenapa
kami duduk berjauhan. Tiap kita bertemu pasti duduk merapat tak terpisahkan.
Ibarat burung dan sayapnya.
Suasanapun
menjadi beku. Kami hanya saling diam satu sama lain. Hanya pandangan mata kami
yang mengisyaratkan kata-kata yang tidak bisa terucap oleh mulut.
“Kamu udah
pulang kuliah?” Dodhy memulai pembicaraan, memecahkan keheningan.
“Entar
sore, jam 3 kok. Lha kamu kok enggak kuliah?” balasku sambil memegang gantungan
kunci hati pemberian Dodhy dulu.
“Alhamdulilah,
kayaknya kamu lagi seneng.”
“Apa sih… udah
maem dulu di gerbang depan. Aku gak punya makanan. Jajan aja yuh.”
Akupun
mengajak Dodhy pergi makan siang. Aku tahu, dari tadi Dodhy belum makan. Dia sudah
datang jauh-jauh dari Bandung cuman buat ketemu aku. Akupun mengajaknya minum. Dia
menolak makan besar bersamaku. Dia bilang kalau dia sudah kenyang, kenyang
karena udah makan hati. Akupun mentraktir minuman dari pohon yang menjadi cikal
pramuka, kelapa. Kamipun duduk berseberangan layaknya majikan dan orang tidak
dikenal. Berbeda sekali dengan dulu. Kami pasti duduk bersebelahan seperti
manten yang sedang dipersandingkan di pelaminan. Tapi itu sudah masa lalu,
hatiku sudah berubah terhadap Dodhy.
Selesai
menikmati semangkuk es kelapa, akupun
mengajak Dodhy kembali ke kosku. Aku ingin tahu apa maksud kedatangannya ke
tempatku. Masih ada waktu sejam sampe perkuliahan dimulai.
Akupun duduk di sofa tadi. Posisi kamipun tidak berubah. Kami
duduk berjauhan layaknya orang menjaga jarak. Lalu lalang penghuni kos yang
sudah pulang dari perkuliahan cukup menggangguku. Dalam batin mereka pasti
bilang, tiap hari kok cowoknya gonta-ganti terus? Ah… masa bodoh.
“Ada yang
ingin kamu omongin? Mumpung aku masih disini.” Dodhy memulai pembicaraan.
“Udah
semalam kan..”
“Jadi kamu
serius sayang sama Ryan?” tambah Dodhy.
“Iya.. aku
sayang banget sama Ryan. Tapi aku belum bisa memberi jawaban atas perasaannya. Dia
sudah mengungkapkan perasaanya kepadaku.” Kataku sambil tersenyum.
“Oke… aku
udah ikhlas kok. Aku juga sudah melihat senyum dari wajahmu. Matamu sekarang tidak
kosong lagi. Jika kamu udah memilih seperti ini, aku mundur saja. Percuma aku
memaksa kamu suka denganku jika hatimu sudah diisi olehnya. Percuma empat tahun
kita lalui dengan pengkhianatan kayak gini.” Dodhy meluapkan emosinya meski
dengan ekspresi datar.
“Aku juga
tidak tahu kalau akhirnya bakal seperti ini. Ku harap kamu mengerti.” Akupun
membalas kata-kata Dodhy sambil pura-pura melihat jam tangan. Berharap Dodhy
sadar dan segera pulang.
Melihat
tingkahku yang sudah tidak nyaman, Dodhy mengerti. Diapun berdiri dari tempat
duduknya. Sambil berpamitan. Akupun dengan
semangat mengantarnya ke pintu gerbang kos. Berharap Dodhy segera cepat pulang.
Aku sudah bosan melihat tampangnya.
“Oke.. aku
pulang dulu. Aku enggak tahu besuk kita bisa bertemu lagi atau tidak.”
“Aku
datang kesini cuman mau memastikan dengan mataku sendiri dan juga mau ngasih
kamu ini.” Dodhy mengeluarkan sebuah bungkusan bewarna merah dari dalam tasnya.
“Apa ini
emang?” kataku penasaran.
“Kamu bisa
buka 4 hari lagi di malam hari atau setelah kamu beribadah malam, selamat
ualang tahun. Maaf terlalu cepat ngasih kado buat kamu, tapi cuman ini yang
bisa aku kasih ke kamu.” Kata Dodhy sambil menutup tas hitamnya.
Aku hanya
terdiam. Teringat, empat hari lagi aku akan
berulang tahun. Dan aku melupakan
sebuah moment. Dua hari sebelum hari ulang tahunku adalah hari ulang
tahun Dodhy. Oh.. Tuhan, kenapa aku bisa lupa. Apakah aku terlalu keasikan
masuk ke dalam dunia Ryan. Mulutku tidak bisa berkata apa-apa. Mataku hampir
meneteskan air mata. Sesak di dada mulai terasa. Akupun semakin tidak karuan. Dada
terasa tercabik oleh senjataku sendiri.
“Wasalammualaikum.”
Hanya kata itu yang terucap dari mulutku. Kata-kata yang pas untuk mengusir
Dodhy. Kata-kata yang bisa memerintah Dodhy segera pergi dari kosku.
Dodhypun
paham kode yang telah kuberikan. Dia perlahan-lahan pergi meninggalkanku. Samar-samar bayang hitam menjauh dan hilang
ditelan keramaian jalan raya. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan terimakasih
dan permintaan maafku kepada Dodhy. Aku bahkan tidak sempat memberikan kado
untuk Dodhy seperti yang sudah-sudah. Tapi, aku hanya bisa memberikan kado
terindahku dengan Ryan kepadanya.
[Tamat]
Yap. Seperti
itulah cerita yang bisa gue buat. Sakit kan? Nyesek kan? Apapun alasanya main
tikung itu ya tetep main tikung. Laki-laki yang baik dan berjiwa besar pasti
gentle men. Enggak main dari belakang, apalagi nusuk temen, ngerebut hati
orang. Merusak hubungan orang. Yap… pasti banyak realita-realita yang terjadi
disekitar kita. Ditinggal pergi tanpa
alasan itu sudah biasa, bertepuk sebelah tangan juga banyak.
Sebagai
orang yang punya agama jangan munafik lah. Jika diberi kepercayaan orang enggak
usah berkhianat, jika berkata enggak usah nista. Sebagai orang yang berjiwa
besar dan jujur, enggak usah main tikung, enggak usah main rebut pasangan
orang.
Gue sendiri
enggak pernah dan enggak akan pernah main rebut pasangan orang. Iya, soalnya
jika gue ngerebut pasangan orang, maka suatu hari gue juga harus siap jika
pasangan kita direbut orang lain. Kalo kayak gitu ya solusunya mundur, maafkan,
tersenyum dan tetap semangat. ‘
Cowok
sejati enggak pernah ngerebut punya orang, cowok sejati enggak pernah main
kotor, apalagi sampe ngedeketin orang yang jelas-jelas temennya sendiri.
Oke. Gue kira
cukup ini postingan dari gue. Maaf, kemarin sempat tertunda ngelanjutin
ceritanya. Lagi sibuk soalnya. Makasih udah baca.